Senin, 21 Maret 2016

kampung desain magelang

MAGELANG, KOMPAS.com - Secara umum tidak ada yang berbeda dengan Desa Kaliabu, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dengan desa pada umumnya. Sebuah desa yang terbilang cukup terpencil dari pusat kota Magelang. Letaknya justru lebih dekat dengan Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo.

Tetapi siapa sangka, dari desa ini lahir ratusan desainer muda yang karya-karyanya sudah diakui dunia internasional. Sebagian besar pemuda di desa ini bahkan sudah menjadikan profesi desainer logo sebagai mata pencaharian utama.

Tidak heran jika desa ini kemudian disebut Kampung Desain Grafis atau Kampung Pengrajin Logo. Mereka tergabung dalam komunitas yang disebut Komunitas Rewo-rewo.

Ya, setiap hari mereka membuat logo atau ikon sesuai permintaan perusahaan-perusahaan besar dari berbagai belahan dunia. Logo-logo tersebut lalu dikirim lewat online dan dikompetisikan dengan logo-logo lain yang juga dikirim oleh peserta di seluruh dunia.

“Jika menang kompetisi itu bisa dapat hadiah puluhan sampai ratusan dolar,“ kata Yunan Hamami (36), warga setempat, Jumat (9/1/2015).

Mamik, panggilan akrab Yunan Hamami, mengatakan Komunitas Rewo-rewo berdiri sejak tiga tahun lalu. Komunitas yang mewadahi warga yang sebagian besar berusia muda untuk menyalurkan bakat mereka dalam dunia seni kreatif mendesain logo.

Otodidak

Dahulu, kata Mamik, anggota komunitas ini masih hanya terdiri beberapa orang saja. Seiring perjalanan waktu, jumlah anggota semakin bertambah mencapai 250 orang. Semuanya warga Desa Kaliabu.

“Salah satu penggagas komunitas ini Muhammad Abdul Bar, dulu dia supir bus malam, tetapi banting stir menjadi desainer logo, beliau lalu mengajak saudara-saudara dan para tetangga untuk belajar desain sekaligus mencari uang dari hasil desain itu sendiri,“ ungkapnya.

Mamik sendiri awalnya tidak terlalu tertarik dengan desain, karena ia sudah menjadi guru di SMP Negeri 2 Kajoran Kabupaten Magelang dengan status pegawai negeri sipil (PNS). Namun melihat adik dan para tetangga yang sukses menjadi desainer logo, dia pun tertarik dan menekuni desain meski masih menjadi pekerjaan sambilan.

Mamik mengatakan, tidak semua anggota Komunitas Rewo-rewo mengeyam pendidikan tinggi apalagi sekolah khusus desain. Sebagian besar mereka adalah lulusan SMP dan SMA. Mereka belajar desain secara otodidak. Masing-masing anggota tidak segan saling berbagai ilmu.

“Kami belajar otodidak, teman-teman yang sudah mahir juga tidak pelit ilmu, mereka mengajari kami bagaimana mendesain logo menggunakan software Corel Draw dan Adobe Photoshop,“ ujar Mamik.

Setelah bisa, lanjut Mamik, mereka lantas mencari informasi berbagai lomba desain dari seluruh dunia melalui internet. Menurut Mamik, ada banyak situs web yang khusus menyediakan informasi kompetisi membuat logo perusahaan tertentu. Kebanyakan situs web itu berdomain di negara-negara Eropa dan Australia.

“Setiap menit pasti ada informasi lomba desain logo dari seluruh dunia, kami ikuti saja lomba-lomba itu. Modal kami cuma Google Translate karena kami tidak bisa bahasa Inggris untuk memahami petunjuk lomba,“ kata Mamik terkekeh.

Sering menang

Menurut Mamik, hampir semua anggota anggota Komunitas Rewo-rewo pernah memenangi lomba desain logo itu. Tidak hanya sekali tetapi berkali-kali. Hadiahnya rata-rata puluhan sampai ratusan dolar. Tidak heran jika kemudian banyak warga yang beralih profesi menekuni dunia desain logo.

Menurut Mamik, ada anggota yang semula penjual bakso, petani, buruh, pedagang pakaian, hingga pengangguran.

“Jika beruntung, banyak teman kami yang menang hingga empat kali dalam seminggu, setiap kontes rata-rata berhadiah sekitar Rp 20 Juta. Banyak diantara kami yang sudah bisa beli motor, mobil, bangun rumah sampai menghajikan orang tua dari hasil menang kontes itu,“ ungkap Mamik lagi.

Meski sering ikut kontes bersama, setiap warga atau anggota komunitas rewo-rewo disebut tidak pernah saling iri. Mereka malah saling mendukung dan berkompetisi secara sehat. Tidak jarang hadiah yang diterima disisakan lalu dikumpulkan untuk membantu warga Desa Kaliabu lainnya yang tengah kesulitan ekonomi atau terkena musibah.

“Rasa kekeluargaan kami sangat erat, kami saling membantu dan mendukung. Dari profesi ini pula kami bisa mengubah image Desa Kaliabu yang dulu terkenal dengan kampung preman sekarang jadi kampung desain yang membanggakan,“ sambung Mamik.

Mamik menceritakan, sangking seringnya warga Desa Kaliabu mengikuti berbagai kontes logo, salah seorang direktur situs web dari Eropa datang ke desa tersebut. Menurut Mamik, sang direktur penasaran bagaimana bisa warga yang notabene tinggal di perkampungan bisa sering memenangi kontes desain logo level internasional.

Belum lama ini, kata Mamik, Dirjen Kementerian Perekonomian Kreatif sempat menyambangi Desa Kaliabu. Pada kesempatan tersebut warga menyampaikan beberapa kendala yang dihadapi yakni keterbatasan jaringan internet di Desa Kaliabu. Bagi warga, internet menjadi salah satu komponen penting alam keberlangsungan profesi pengrajin logo.

“Bersyukur, awal tahun ini dipasang kabel internet bantuan dari salah satu provider, sehingga mempermudah kami berkarya. Hampir setiap rumah di Desa kami pasti memiliki perangkat komputer atau laptop yang terkoneksi internet,“ ucap Mamik bahagia.

Mata pencaharian

Salah satu warga Desa Kaliabu, Hasan (25), mengaku senang bisa belajar desain logo tanpa harus sekolah tinggi. Berkat semangat dan keuletannya sejak satu tahun terakhir, Hasan sudah mampu memenangi hingga 15 kali kompetisi desain logo dari seluruh dunia.

“Alhamdulillah, dari hasil menang itu bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari meskipun (pendapatan) tidak tentu seperti karyawan perusahaan pada umumnya,“ ungkap Hasan yang sebelumnya adalah pedagang bakso di Kota Magelang itu.

Hasan mengatakan, dia dan juga beberapa anggota pernah dikontrak oleh sebuah perusahaan di Eropa untuk membuat desain logo. Nilai kontrak bisa mencapai 90 dolar AS per jam untuk satu buah logo. Saat ini, Hasan tengah mengikuti kontes desain logo yang diselenggarakan oleh perusahaan di Jerman dengan hadiah 2.000 dolar AS.

“Semoga menang,“ ucap Hasan.

belajar

TIDAK USAH SEKOLAH
Saudara-saudaraku sekalian,
Belajar itu murah. Inilah kalimat pertama yang hendak kami tandaskan. Karena belajar bisa di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Itu semua tergantung pada kemauan kita. If there is a will, there is a way.
Maka, dengan ini secara tegas kami mengajak marilah kita mendidik anak-anak kita sendiri. Menyadarkan pada mereka belajar itu kewajiban sepanjang hidup. Tidak harus lewat sekolah untuk belajar. Apalagi ternyata kebanyakan sekolah cenderung merusak anak. Bagaimana merusaknya? Salah satu contoh, kebanyakan guru egois menuntut anak untuk menguasai pelajaran yang diampunya. Jika tidak bisa, dengan mudahnya sang guru mengecap anak sebagai bodoh/tolol. Si guru kurang menyadari ternyata ia sendiri hanya menguasai satu pelajaran (yang diampunya), sementara anak dihadapkan pada belasan mata pelajaran.
Contoh lain, kebanyakan guru tidak penyabar. Ingin segera permintaan atau perintahnya dituruti segera. Dia tidak mau tahu apakah ketika ia meminta atau menyuruh itu mengganggu kenyamanan anak atau bukan. Alih-alih meminta maaf kesalahannya telah mengganggu kenyamanan siswa, guru akan kecewa dan marah bila perintahnya tidak dituruti. Singkatnya, yang ada di kepala guru adalah “anak harus menuruti kemauannya, jika tidak berarti ia anak yang nakal”. Inilah kejahatan! Dan seperti ini sudah lumrah.
Nah, mengapa kita mau menyerahkan anak-anak kita untuk dididik orang-orang seperti itu!? Lebih baik tidak usah sekolah, jika yakin kita sanggup membangun suasana yang menyenangkan di rumah. Kita hormat pada anak, dan anak pasti lebih hormat pada kita.
Orang-orang pada ramai mengeluhkan sekolah itu mahal. Kendati BOS telah diturnkan oleh pemerintah, ternyata pungli semakin meriah. Itu kejahatan para kepala sekolah dan guru-guru yang ingin meraup keuntungan materi di balik praktek pendidikan. Tapi itu juga salah kita, mengapa kita tergantung pada sekolah. Jika memang kita maunya belajar, mencari wawasan dan ilmu pengetahuan, jangan sampai tergantung pada sekolah, padahal kita sudah sangat kita maklum sebagian besar sekolah melakukan praktek pungli. Mengapa kita tidak mendidik anak-anak kita sendiri?!
Bisakah kita mendidik mereka jika kita sendiri sibuk dalam pekerjaan sehari-hari? Sangat bisa! Karena yang terpenting bagi orang tua adalah membangun suasana kondusif, nyaman, dan menyenangkan bagi anak-anak. Anak-anak merasa senang bersama orang tua, dan krasan di rumah. Ini terpenting. Selebihnya, kita membantu anak memfasilitasi proses belajar mereka. Itu saja.
Sekedar contoh. Bagi kami, daripada uang kita belanjakan untuk membeli buku-buku pelajaran, membiayai transportasi anak-anak ke sekolah, membayar iuran ini-itu, lebih baik kita tabung dan belikan komputer. 1,1 juta sudah dapat pentium 3, 2,5-3 juta-an sudah dapat pentium 4. Jika rejeki kita cukup, belikan saja laptop.
Keberaan sebuah komputer di samping anak kita sudah sanggup mewakili keberadaan sebuah institusi sekolah dalam mencerdaskan anak. Komputer sanggup menyimpan ratusan bahkan ribuan buku elektronik (e-book). Membaca buku pelajaran, mendalami berbagai program, mengerjakan tugas, refreshing (main game) jika sedang bosan, semuanya dalam satu komputer.
Biarkan anak-anak kita mengerjakan segala sesuatu secara mandiri. Kita jangan terlalu sering mengatur atau mengarahkan. Ini godaan terbesar kita sebagai orang tua. Kita sering berfikiran, “anak harus taat pada orang tua” kita artikan bahwa kita berhak mengatur anak semau gue. Kita sering terlalu egois, ingin menguasai anak.
Kuncinya adalah tauladan. Jika kita ingin anak kita menjadi orang yang sopan kita harus sopan pada mereka. Agar mereka mencintai kebersihan, jangan senantiasa kita menyuruh mereka bersih-bersih sementara kita tidak pernah membantu.
Semua moralitas universal itu menjadi kunci. Disiplin, sabar, jujur, kasih-sayang, kerja keras, pantang putus asa, tepo-sliro, dll. Kita harus terus belajar sekuat tenaga mempunyai moralitas yang baik seperti itu, jika mau anak-anak kita menjadi orang yang sukses.
Dalam memberi nasehat-nasehat juga hanya berkisar pada wilayah moralitas itu saja. Lainnya tidak. Soal ilmu pengetahuan dan ketrampilan adalah pilihan. Anak mau menjadi petani atau sopir itu hak anak. Singkatnya, anak kita mau menjadi apa saja itu terserah mereka, yang penting mereka mempunyai moralitas yang baik.
Memang tidak ada orang yang sempurna di muka bumi ini. Makanya kita juga harus berani terus terang pada anak atas kesalahan yang sesekali kita buat, dan meminta maaf pada mereka. Dengan begitu anak akan sadar bahwa kekurangan dan kelemahan itu suatu yang wajar dan tidak perlu dicemooh.
Semoga kita semua menjadi orang yang merdeka.