MAGELANG, KOMPAS.com - Secara umum tidak ada yang
berbeda dengan Desa Kaliabu, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah, dengan desa pada umumnya. Sebuah desa yang terbilang cukup
terpencil dari pusat kota Magelang. Letaknya justru lebih dekat dengan
Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo.
Tetapi siapa sangka,
dari desa ini lahir ratusan desainer muda yang karya-karyanya sudah
diakui dunia internasional. Sebagian besar pemuda di desa ini bahkan
sudah menjadikan profesi desainer logo sebagai mata pencaharian utama.
Tidak
heran jika desa ini kemudian disebut Kampung Desain Grafis atau Kampung
Pengrajin Logo. Mereka tergabung dalam komunitas yang disebut Komunitas
Rewo-rewo.
Ya, setiap hari mereka membuat logo atau ikon sesuai
permintaan perusahaan-perusahaan besar dari berbagai belahan dunia.
Logo-logo tersebut lalu dikirim lewat online dan dikompetisikan dengan
logo-logo lain yang juga dikirim oleh peserta di seluruh dunia.
“Jika
menang kompetisi itu bisa dapat hadiah puluhan sampai ratusan dolar,“
kata Yunan Hamami (36), warga setempat, Jumat (9/1/2015).
Mamik,
panggilan akrab Yunan Hamami, mengatakan Komunitas Rewo-rewo berdiri
sejak tiga tahun lalu. Komunitas yang mewadahi warga yang sebagian besar
berusia muda untuk menyalurkan bakat mereka dalam dunia seni kreatif
mendesain logo.
Otodidak
Dahulu, kata
Mamik, anggota komunitas ini masih hanya terdiri beberapa orang saja.
Seiring perjalanan waktu, jumlah anggota semakin bertambah mencapai 250
orang. Semuanya warga Desa Kaliabu.
“Salah satu penggagas
komunitas ini Muhammad Abdul Bar, dulu dia supir bus malam, tetapi
banting stir menjadi desainer logo, beliau lalu mengajak saudara-saudara
dan para tetangga untuk belajar desain sekaligus mencari uang dari
hasil desain itu sendiri,“ ungkapnya.
Mamik sendiri awalnya
tidak terlalu tertarik dengan desain, karena ia sudah menjadi guru di
SMP Negeri 2 Kajoran Kabupaten Magelang dengan status pegawai negeri
sipil (PNS). Namun melihat adik dan para tetangga yang sukses menjadi
desainer logo, dia pun tertarik dan menekuni desain meski masih menjadi
pekerjaan sambilan.
Mamik mengatakan, tidak semua anggota
Komunitas Rewo-rewo mengeyam pendidikan tinggi apalagi sekolah khusus
desain. Sebagian besar mereka adalah lulusan SMP dan SMA. Mereka belajar
desain secara otodidak. Masing-masing anggota tidak segan saling
berbagai ilmu.
“Kami belajar otodidak, teman-teman yang sudah
mahir juga tidak pelit ilmu, mereka mengajari kami bagaimana mendesain
logo menggunakan software Corel Draw dan Adobe Photoshop,“ ujar Mamik.
Setelah
bisa, lanjut Mamik, mereka lantas mencari informasi berbagai lomba
desain dari seluruh dunia melalui internet. Menurut Mamik, ada banyak
situs web yang khusus menyediakan informasi kompetisi membuat logo
perusahaan tertentu. Kebanyakan situs web itu berdomain di negara-negara
Eropa dan Australia.
“Setiap menit pasti ada informasi lomba desain logo dari seluruh dunia, kami ikuti saja lomba-lomba itu. Modal kami cuma Google Translate karena kami tidak bisa bahasa Inggris untuk memahami petunjuk lomba,“ kata Mamik terkekeh.
Sering menang
Menurut
Mamik, hampir semua anggota anggota Komunitas Rewo-rewo pernah
memenangi lomba desain logo itu. Tidak hanya sekali tetapi berkali-kali.
Hadiahnya rata-rata puluhan sampai ratusan dolar. Tidak heran jika
kemudian banyak warga yang beralih profesi menekuni dunia desain logo.
Menurut Mamik, ada anggota yang semula penjual bakso, petani, buruh, pedagang pakaian, hingga pengangguran.
“Jika
beruntung, banyak teman kami yang menang hingga empat kali dalam
seminggu, setiap kontes rata-rata berhadiah sekitar Rp 20 Juta. Banyak
diantara kami yang sudah bisa beli motor, mobil, bangun rumah sampai
menghajikan orang tua dari hasil menang kontes itu,“ ungkap Mamik lagi.
Meski
sering ikut kontes bersama, setiap warga atau anggota komunitas
rewo-rewo disebut tidak pernah saling iri. Mereka malah saling mendukung
dan berkompetisi secara sehat. Tidak jarang hadiah yang diterima
disisakan lalu dikumpulkan untuk membantu warga Desa Kaliabu lainnya
yang tengah kesulitan ekonomi atau terkena musibah.
“Rasa
kekeluargaan kami sangat erat, kami saling membantu dan mendukung. Dari
profesi ini pula kami bisa mengubah image Desa Kaliabu yang dulu
terkenal dengan kampung preman sekarang jadi kampung desain yang
membanggakan,“ sambung Mamik.
Mamik menceritakan, sangking
seringnya warga Desa Kaliabu mengikuti berbagai kontes logo, salah
seorang direktur situs web dari Eropa datang ke desa tersebut. Menurut
Mamik, sang direktur penasaran bagaimana bisa warga yang notabene
tinggal di perkampungan bisa sering memenangi kontes desain logo level
internasional.
Belum lama ini, kata Mamik, Dirjen Kementerian
Perekonomian Kreatif sempat menyambangi Desa Kaliabu. Pada kesempatan
tersebut warga menyampaikan beberapa kendala yang dihadapi yakni
keterbatasan jaringan internet di Desa Kaliabu. Bagi warga, internet
menjadi salah satu komponen penting alam keberlangsungan profesi
pengrajin logo.
“Bersyukur, awal tahun ini dipasang kabel
internet bantuan dari salah satu provider, sehingga mempermudah kami
berkarya. Hampir setiap rumah di Desa kami pasti memiliki perangkat
komputer atau laptop yang terkoneksi internet,“ ucap Mamik bahagia.
Mata pencaharian
Salah
satu warga Desa Kaliabu, Hasan (25), mengaku senang bisa belajar desain
logo tanpa harus sekolah tinggi. Berkat semangat dan keuletannya sejak
satu tahun terakhir, Hasan sudah mampu memenangi hingga 15 kali
kompetisi desain logo dari seluruh dunia.
“Alhamdulillah, dari
hasil menang itu bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari meskipun
(pendapatan) tidak tentu seperti karyawan perusahaan pada umumnya,“
ungkap Hasan yang sebelumnya adalah pedagang bakso di Kota Magelang itu.
Hasan mengatakan, dia dan juga beberapa anggota pernah
dikontrak oleh sebuah perusahaan di Eropa untuk membuat desain logo.
Nilai kontrak bisa mencapai 90 dolar AS per jam untuk satu buah logo.
Saat ini, Hasan tengah mengikuti kontes desain logo yang diselenggarakan
oleh perusahaan di Jerman dengan hadiah 2.000 dolar AS.
“Semoga menang,“ ucap Hasan.
Senin, 21 Maret 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar